Kekhawatiran Perang di Timur Tengah: Dinamika Hubungan Iran dan Israel di Bawah Kepemimpinan Baru

Konflik Iran VS Israel

Batu Pos – Hingga saat ini, kekhawatiran akan pecahnya perang di kawasan Timur Tengah tampaknya tidak terjadi. Iran, yang sering dianggap sebagai potensi pemicu konflik akibat tindakan-tindakan Israel, tidak terjebak dalam jebakan perang regional yang mungkin diinginkan oleh beberapa pihak. Sebaliknya, pemerintah Israel di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terlihat memiliki keinginan untuk memicu konflik tersebut.

Netanyahu menghadapi berbagai tantangan di dalam negeri, seperti kasus korupsi dan reformasi sistem peradilan Israel yang menuai banyak protes. Dalam situasi tersebut, ia berupaya memperkuat narasi tentang adanya musuh bersama, yang dalam hal ini dijadikan sosok Iran. Namun, situasi di Iran sendiri menunjukkan perubahan signifikan dengan adanya kepemimpinan baru yang lebih moderat, di bawah Masoud Pezeshkian, yang berfokus pada pembangunan domestik daripada ekspansi konflik.

Dalam bukunya, Pierre Conesa menyoroti bahwa rezim sering kali menciptakan musuh untuk memperkuat kekuasaan mereka. Dengan menghidupkan persepsi adanya ancaman eksternal, mereka bisa memobilisasi dukungan publik untuk memperkuat posisi politik mereka. Dalam konteks ini, jika pandangan moderat Pezeshkian diterima oleh negara-negara Barat, maka Netanyahu mungkin kehilangan narasi yang digunakannya untuk mempertahankan kekuasaan.

Pezeshkian yang baru terpilih pada 5 Juli 2024, menggantikan Ebrahim Raisi, memiliki platform moderat yang mencakup upaya untuk memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat dan menghapus sanksi internasional yang menghambat pertumbuhan ekonomi Iran. Kemenangan ini disambut baik di Barat, yang bisa mengancam posisi Netanyahu jika hubungan Iran dan AS membaik.

Sebelum Pezeshkian mengambil alih, Iran sudah menunjukkan tanda-tanda moderasi. Pada Maret 2023, Iran dan Arab Saudi menormalkan hubungan diplomatik, setelah terlibat dalam konflik di Yaman, Suriah, dan Irak. Hal ini menunjukkan bahwa Iran sedang berupaya untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara-negara tetangganya.

Di sisi lain, ketika Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, beberapa pihak di Barat berpandangan bahwa tindakan tersebut tidak didukung oleh Iran. Namun, Netanyahu cenderung mengabaikan pandangan ini dan tetap ingin melihat Iran sebagai musuh yang bisa mempersatukan Israel di tengah ketidakpastian domestik. Dengan provokasi yang dilakukan Israel, termasuk membunuh jenderal-jenderal Iran di Suriah dan Lebanon, diharapkan Iran akan terpicu untuk melakukan balasan.

Namun, hingga saat ini, Iran tetap menahan diri, meskipun proksi mereka di Yaman dan Lebanon masih aktif menyerang Israel. Ketegangan semakin meningkat setelah kepala biro politik Hamas, Ismail Haniyeh, dibunuh setelah menghadiri pelantikan Pezeshkian. Iran menuduh Israel sebagai pelaku pembunuhan, tetapi pemerintahan baru Pezeshkian tampaknya memilih untuk fokus pada agenda nasional mereka dan tidak terjebak dalam konflik yang lebih besar.

Kedua pemimpin, Pezeshkian dan Netanyahu, akan mengawasi pemilihan presiden AS pada 5 November 2024, dengan harapan masing-masing. Pezeshkian mengharapkan kemenangan Kamala Harris, yang mungkin membuka kembali dialog dengan Iran, sementara Netanyahu berharap Donald Trump kembali terpilih, karena kebijakan yang lebih keras terhadap Iran.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa upaya moderasi dari pemimpin Iran sering kali terhambat oleh intervensi kelompok lobi seperti AIPAC yang berusaha menjaga kebijakan keras terhadap Iran. Dalam situasi ini, Netanyahu berupaya menciptakan provokasi untuk menjaga narasi bahwa Iran adalah musuh bersama, demi mempertahankan cengkeraman kekuasaannya di Israel. Namun, semua ini bergantung pada hasil pemilu AS mendatang, yang akan sangat menentukan arah kebijakan luar negeri kedua negara.

Recommended For You

About the Author: admin 2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *