Surat dari Hutan yang Hampir Hilang

0
peduli pada bumi

Sumber: https://unsplash.com/id/foto/sungai-yang-mengalir-melalui-hutan-hijau-rimbun-rfNtX15OgoY

Hai sobat alam! Pernahkah kamu membayangkan jika hutan bisa menulis surat? Mungkin isi surat itu akan dikirim ke kita, manusia yang hidup nyaman berkat naungannya. Seperti yang sering disuarakan oleh https://dlhkalimantanbarat.id/, hutan bukan sekadar kumpulan pohon, tapi juga rumah bagi kehidupan — dari hewan kecil di tanah hingga burung yang bernyanyi di dahan tinggi. Sayangnya, rumah itu kini sedang menulis surat panjang tentang rasa sakitnya.

“Aku Pernah Hijau dan Penuh Kehidupan”

Bayangkan hutan berbicara dengan suara lembut, mengingat masa lalu. Dulu, udara segar mengalir dari setiap daun, dan mata air mengalir jernih di antara akar. Hewan-hewan berlarian tanpa takut, dan manusia datang hanya untuk mengambil secukupnya. Tapi semua berubah ketika keserakahan mulai mengambil alih. Pohon ditebang, tanah diratakan, dan suara alam perlahan menghilang.

Ketika Sunyi Menggantikan Kicau Burung

Dulu, pagi di hutan adalah orkestra kehidupan. Tapi sekarang, sunyi mengambil alih panggung. Burung-burung kehilangan tempat bertelur, gajah kehilangan jalur migrasi, dan banyak spesies lainnya perlahan menghilang. Di balik keindahan kota yang kita bangun, ada suara-suara yang tak lagi terdengar.

Kabut Asap, Tanda Tangisan yang Terlihat

Setiap kali hutan terbakar, bumi seakan meneteskan air mata. Asapnya menyelimuti langit, membuat manusia batuk dan menutup jendela. Tapi di dalam kabut itu, ada pesan yang lebih dalam — hutan sedang menangis. Ia kehilangan bagian dirinya setiap kali api menyala karena ulah manusia yang abai.

Bukan Sekadar Pohon, Tapi Penjaga Kehidupan

Hutan bukan hanya sumber kayu atau lahan perkebunan. Ia adalah penjaga udara yang kita hirup, pengatur iklim, dan penyimpan air. Setiap pohon yang tumbang tanpa reboisasi berarti kehilangan sepotong keseimbangan bumi. Mungkin kita tak merasakannya langsung hari ini, tapi generasi berikutnya pasti akan menanggung akibatnya.

Surat Cinta untuk Manusia

Jika hutan bisa menulis, mungkin ia akan memulai suratnya dengan kata-kata penuh cinta: “Aku tetap memaafkanmu.” Walau manusia sering menyakitinya, hutan tetap memberi. Ia masih menyediakan oksigen, masih menumbuhkan pohon baru, dan masih menyerap karbon yang kita hasilkan setiap hari. Tapi sampai kapan ia mampu bertahan?

Aksi Nyata, Bukan Sekadar Janji

Sudah terlalu banyak janji hijau tanpa bukti nyata. Menanam pohon hanya saat kampanye, tapi menebang tanpa henti di hari biasa. Padahal, menjaga hutan bukan hanya tugas pemerintah atau aktivis lingkungan, tapi tanggung jawab kita semua. Mulai dari mengurangi penggunaan kertas, mendukung produk ramah lingkungan, hingga ikut reboisasi kecil di sekitar rumah.

Mendengarkan Suara Alam yang Hening

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, coba luangkan waktu sejenak untuk berjalan di alam. Dengarkan suara angin, hirup aroma tanah, dan rasakan damainya pohon tua yang berdiri kokoh. Di situlah kita bisa mendengar “surat” hutan — bukan dengan kata, tapi dengan rasa. Ia tidak menuntut, hanya mengingatkan agar kita tidak lupa siapa yang memberi kehidupan.

Harapan yang Masih Tersisa

Meski banyak yang sudah rusak, harapan belum mati. Banyak komunitas, lembaga, dan anak muda yang bangkit untuk menanam kembali pohon, memulihkan tanah, dan melindungi satwa liar. Gerakan kecil yang dilakukan bersama mampu menciptakan perubahan besar. Alam hanya butuh waktu dan sedikit kasih untuk pulih.

Bayangkan Jika Hutan Benar-Benar Hilang

Tanpa hutan, bumi akan kehilangan paru-parunya. Udara kotor, air sulit didapat, dan suhu bumi naik drastis. Kita mungkin masih bisa hidup sejenak dengan teknologi, tapi tanpa alam, peradaban akan kehilangan napasnya. Apakah kita ingin menunggu sampai hutan benar-benar tak bersuara lagi?

Kesimpulan

Surat dari hutan bukanlah dongeng — itu kenyataan yang sedang terjadi di sekitar kita. Seperti yang diingatkan oleh https://dlhkalimantanbarat.id/, menjaga hutan berarti menjaga masa depan. Alam tidak meminta banyak, hanya sedikit perhatian dan tindakan nyata agar ia bisa terus hidup dan memberi kehidupan. Mari kita dengarkan surat itu dengan hati terbuka, sebelum pena hutan benar-benar berhenti menulis selamanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *